Skip to main content

Posts

Life Lesson from Slice of Life anime #1 - My Neighbor the Yamadas

Di tengah kesibukan jaga rumah dan anak (yang sejujurnya sedang gue laksanakan setengah hati belakangan ini--tapi ini bakal gue bahas di lain kesempatan) gue menyempatkan diri buat nonton film. Lebih tepatnya film-film Ghibli. Gue memang udah berkali-kali rewatch film-fim dari studio Ghibli, apalagi From Up of Poppy Hills yang notabene adalah favorit gue, tapi kali ini gue memutuskan untuk nonton dengan dubbing Bahasa Indonesia. Alasannya, karena anak gue suka ikutan nonton. Berhububg gue sedang berupaya meningkatkan kemampuan bahasanya, sebisa mungkin gue fokus ke satu bahasa dulu. (Saat gue nonton pakai audio Jepang dia ikutan niru soalnya. Contohnya "baa-chan! Baa-chan!"... Oke anak gue wibu sebelum waktunya). Surprisingly, dubbingnya bagus, yah meski ada di beberapa film yang rada ga pas tapi kebanyakan bagus. Hari ini yang gue tonton "My Neighbors the Yamadas", ceritanya bekisar tentang keluarga Yamada yang terdiri dari Takashi (Ayah), Matsuko (ibu), Noboru (an
Recent posts

How to feel, exactly?

Ada satu line di serial drama CSI, yang sampai saat ini terngiang di kepala gue. Padahal, episode berapa, season berapa, gue sebenarnya sama sekali gak ingat. Kira-kira begini linenya: "Is that how you truly feel? Or you think you should feel?" Apakah itu benar-benar yang kamu rasakan, atau yang menurutmu harus kamu rasakan? Jujur gak ingat pasti bagaimana Grissom menyampaikannya, tapi kira-kira begitulah. Kalau gak salah dia lagi ngomong sama Miniature Killer di penjara. Kalau gak salah, si pelaku mengidap psikosis, mentally unstable, dan sudah melakukan pembunuhan beberapa kali. Jelas ketika dia meminta maaf dan bilang kalau dia menyesal, Grissom sangsi dan gak langsung percaya.  Memahami emosi itu gak mudah, let alone berempati secara tulus dan dari lubuk hati yang dalam. Seringkali gue gak merasa terkoneksi secara emosional dengan orang-orang sekitar gue. Paling mentok, gue cuma bisa acknowledge perasaan mereka "oh dia lagi sakit", "oh dia lagi sedih",

Kesepian

DISCLAIMER: Entri ini sebenarnya merupakan terjemahan dari narasi video di atas. Ketika gue nonton video ini, gue merasa video ini memuat banyak informasi yang patut diketahui orang. Jadi ini bukan murni tulisan gue. Alasan kenapa gue menulis kembali narasi ini karena... selain gue punya konten supaya lebih nyaman aja memahaminya (semoga) kalian bisa memilih untuk baca terjemahan gue, atau kalian bisa nonton videonya diatas. Postingan ini barangkali akan berkairtan dengan postingan yang akan gue publish selanjutnya.

Jalan Wibuku

Disela-sela kegiatan keseharian, gue menyempatkan diri untuk menonton ulang Hyouka. Hyouka adalah seri anime Jepang bergenre Mystery/Slice of Life  yang diadaptasi dari serial novel oleh Honobu Yonezawa. Novelnya pertama kali terbit tahun 2001 dan sampai saat ini sudah terbit hinggal volume 6. Seri animenya sendiri rilis tahun 2012, berarti sudah 7 tahun sampai entri ini di tulis. Premis dari seri ini bercerita tentang tokoh utama, Oreki Houtarou yang saat masuk SMA, menerima surat dari kakaknya agar masuk klub sastra klasik di sekolah barunya. Kemudian Houtarou bersama dengan teman-teman satu klubnya: Chitanda Eru, Satoshi Fukube, dan Ibara Mayaka memecahkan berbagai misteri di sekitar mereka. Sekilas seperti seri detektif, ya? Bisa dibilang seperti itu, sih, tapi kasus yang mereka pecahkan bukan kasus besar seperti pembunuhan atau pencurian. Misterinya adalah misteri sehari-hari yang ringan. Misalnya: kenapa Chitanda bisa terkunci di dalam ruang klub? Mengapa pengumuman sekolah

To Know, To Understand

"We can invest enormous time and energy in serious efforts to know another person, but in the end, how close are we able to come to that person's essence? We convince ourselves that we know the other person well, but do we really know anything important about anyone?" - -Haruki Murakami, The Wind Up Bird Chronicle Gue menemukan line ini ketika baca The Wind Up Bird Chronicle di Perpustakaan Nasional. Ga nyangka ternyata koleksi buku Haruki Murakami-nya lumayanelengkap, lho. Haruki Murakami memang ga pernah gagal untuk membuat gue amazed dengan karya-karyanya. Salah satu ciri khas penulisannya adalah dia sangat "cerewet". Cerewet dalam artian ada banyak banget hal yang dia tulis; tentang musik, sejarah, bahasa, bahkan sampa ke hal-hal remeh yang jarang sekali kepikiran sama orang lain. Unsur-unsur ekstrinsiknya kental, misalnya di Norwegian Wood  tokoh utamanya berkuliah di sebuah Universitas Swasta yang lumayan terkenal di Tokyo dimana Murakami dulu

Kebunuhdirian

Hari Minggu tanggal 20 Oktober 2019 yang lalu, datang ke event discussion & workshop mengenai mental health. Tema eventnya mengenai Suicide Prevention, pas banget sama tema World Mental Health day tahun ini. Pertama kali tahu event ini dari akun instagramnya dr. Jiemi Ardian, seorang dokter spesialis kejiwaan dan social media influencer yang gue ikutin (Sejak gue mulai tertarik dengan isu mental health, gue jadi banyak follow komunitas, instansi, atau orang-orang yang juga concern dengan hal itu). Kalau dipikir-pikir, gue juga belum pernah datang ke event soal mental health, dan weekend itu gue juga ga ada agenda so why not? Acaranya diselenggarakan di Volunteer Hub, Jakarta Selatan, lima menit jalan kaki dari stasiun MRT Blok A. Kursi yang disediakan untuk audience ga sebanyak yang gue kira, sekitar 20-30 kursi? (ga ngitungin dengan detail) dan baru beberapa aja yang sudah terisi, mungkin karena gue datangnya juga kecepetan. Ketika masuk ke ruangan, gue lihat dr. Jiemi lag

Vanishing without a trace | Undercover Asia | Full Episode